Kemodernan yang Membosankan
Kemodernan yang
Membosankan
*Rifa Nurafia
Saya merasa dunia mulai
membosankan. Beralur dan ritmenya sama. Kau bangun lantas melakukan aktivitas
kemudian lebih banyak menghabiskan waktu dengan handphone dan internet. Bisa tanyakan dengan jujur pada diri
sendiri. kadang saya temui banyak hal di dalamnya termasuk saya, kita, kalian,
mereka mencoba membahagiakan dirinya yang sebenernya tidak sedang bahagia
dijadikan sebuah kepentingan yang harus dijadikan penting dan tidak ingin terlihat tidak bahagia pada duni yang
sedang dijalani.
Saya misalkan; ketika saya, kamu, kita, kalian, dan mereka mengunggah
sesuatu di sosmed yang menyedihkan apa yang Anda pikirkan? Misalnya patah hati. Saya, kamu, kita, kalian, dan mereka mungkin
akan bergumam dalam hatinya dengan berkata bahwa "galau mulu dah". Itu wajar, dan memang kata itu juga
menjadi sebuah respon. Tapi apakah semua
orang akhir-akhir ini berani mengklaim dirinya sedang sedih? Saya rasa tidak
semua, tapi setidaknya banyak di antara
kita yang menghabiskan waktu untuk menyetarakan kebahagian dengan sebuah
postingan di akun sosial media. Padahal apa yg dilihat dan bisa bisa jadi bukan
kebahagiaan sesungguhnya. Saya tidak mengatakan itu salah dan benar. Saya juga
tidak melarang hal itu dilakukan, sebab bagian itu adalah ekspresi setiap orang. Tapi yang perlu
diperbaiki dari kontruksi berpikir kita
bahwa kita tidak bisa menyamaratakan kebahagian dan kesedihan.
Saya
juga tidak melarang memposting kesedihan, ketika kita lebih senang menampakan
hal buruk diri depan orang lain tidak ada yang salah, kenapa? Apa
yang mereka lihat belum tentu apa yang Anda alami. Sehingga saya, Anda, kita,
kalian, dan mereka harusnya jangan takut untuk terlihat patah. Yang tersulit di
dunia ini adalah mengakui bahwa kau sedang tidak baik-baik saja. Bukan tentang
diri yang selalu kuat dan tangguh terhadap sesuatu, itu hanya menambah masalah. Sewajarnya, jangan
terlalu bahagia dan sedih, jangan juga berpura-pura bahagia, dan jangan
kehilangan identitas.
Memang di sosial media
semua yang saya, Anda, mereka, kalian, atau kita selalu membagikan sesuatu
dengan daya tangkap penilaian rata-rata. Kita menyamaratakan kebahagian. Bahwa
akan ada ketakutan tersendiri jika kita membagikan semua kesedihan, bagi saya;
Anda yak Anda tidak ada
kaitannya dengan yang lain. Jangan menjadikan kemodernan zaman menjadikan
segala hal harus konsisten dan tetap pada nilai utuhnya. Nilai bisa berubah.
Kita kehilangan
identitas bahkan untuk berempati pada apa yang orang lain rasakan. Kita terlalu
sering membagikan kebahagiaan tapi lupa merubah daya pemahaman makna
kebahagiaan. Bahwa kebahagiaan bukanlah apa yang harus lihat. Orang bahkan kebingungan dan mengalami banyak
pertimbangan ketika akan memposting sesuatu di laman sosial medianya. Tidak semua
masalah bisa kita bagikan di sosial media tapi tidak juga apa yang kita bagikan
selalu soal kebahagiaan. Sadar atau tidak, beberapa di antara kita
hanya akan berani membagikan sesuatu yang bahagia, padahal itu bukan diri kita
sendiri.
Saya
bagikan sebuah ilustrasi dan sebuah pertanyaan pada diri saya sendiri ataupun
kalian. Apa yang kalian anggap kalian akan bahagia? Misalnya kalian atau saya
pribadi mempunyai banyak harta dan dengan bebas pergi ke manapun. Dengan kontruksi
pemikiran begitu dunia yang akan kalian ataupun saya tentu yang tergambar di
akun media sosial selalu tentang kemewahan, Anda
ataupun saya akan sangat segan membagikan sebuah postingan yang menyatakan
bahwa kalian ataupun diri saya mengalami kebangkrutan ataupun sudah tidak bisa
jalan-jalan. Kalian ataupun saya pribadi akan menutup diri untuk tidak
membagikan hal-hal apapun selain kemewahan. Itu pasti menyiksa, karena
sesungguhnya diri terjerat
pada pemikiran yang hanya pada kotak
itu. Itu tentu tidak mudah tapi itu juga
menjadikan bahwa kalian ataupun saya hanya berani memamerkan identitas yang
dianggap sama rata dan dianggap
bahagia pada kesetaraan orang lain.
Padahal hakikat kehidupan buka itu. Hidup
hanya perlu dinikmati dan biarkan orang lain berkomentar. Coba renungkan sudah
sejauh mana kau melihat bahagia pada diri orang lain? Dan ingat itu tidak bisa
diterapkan pada diri sendiri.
Saya menulis ini dengan sebuah dilema besar, bahwa ketika saya menulis ini
pasti banyak yang menolak. Sebab kita dibiaskan untuk menjadi pribadi yang
berkamuflase (berhadapan dengan kebahagiaan selalu dan selalu). Pernahkah anda
jujur terhadap diri sendiri bahwa apa yang Anda bagikan di laman sosial media
adalah sebuah kejujuran dan keadaan sesungguhnya dari diri Anda? Apa yang ada
bagikan? Lebih banyak kebahagiaan ? Apa motif Anda membagikan itu? Apakah itu
membuat Anda bahagia atau merasa di istimewakan?
Dunia benar-benar tidak
nyata akhir-akhir ini. Saya katakan membosankan artinya ada yang perlu
diperbaiki dan itu memang sudah hakikatnya hidup. Kalau kau merasa duniamu
tidak membosankan berarti kau sedang tidak belajar sesuatu. Itu perspektif saya
kalau Anda merasa salah saya bahkan senang, berarti Anda bisa menghadirkan
banyak kontra dari tulisan ini. Dan buat saya itu bagus, Anda berpikir juga
saya akan di kritisi.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus