TERKURUNG PRASANGKA #3
Terkurung Prasangka
Episode 3
oleh: Rifa Nurafia
Aku begitu sadar bahwa kau memang sempat menganggapku sebagai wanita,
sebentar. Setelah itu, kau terlihat berlalu dan melupakan perasaan itu. Kau memendamnya
dan tanpa sadar kau justru menancapkan teka-teki padaku. Sadarkah kau, bahwa perempuan
yang sedang kamu hadapi punya dendam dan ambisi yang tinggi. Ah, sudahlah
dijelaskanpun kau tidak akan paham. Kau tidak pernah anggap aku lebih dari
sekedar teman dan adik. Akhirnya perasaan ini meletup selalu memaksa untuk diutarakan.
Tau kah kau? Menjadi aku yang memendam seperti malam-malam dingin yang terus
berusaha menghangatkan diri setiap aku harus menangis.
“Aku benci padamu, saat ini.” gumamku setiap kali rasanya aku meminta
penjelasan pada diriku sendiri. Tapi sepertinya aku kehilangan kendali dan siang
ini tiba-tiba berteriak di meja kerjaku.
“Husssh, kenapa?” April menyadarkanku.
“Eh, engga-engga. Aku cuma lagi kacau pikiran aja.” Jelasku padanya.
“Kamu sepertinya baru kali ini terlihat sangat kacau.” Tanyanya padaku.
Ah, April andai itu dia yang bertanya padaku, pada keadaanku setelah aku
paham bahwa kedekatan beberapa tahun lalu berakhir di hari ini. Bukan berakhir
lebih tepatnya teka-teki itu sudah terjawab. Aku terus kacau, tanpa sadar
pekerjaanku terganggu.
“Mei, kamu gak mau cerita apa-apa sama ku?” tanya April untuk memastikan
bahwa aku memang baik-baik saja.
“Engga ko, aku Cuma kayaknya kurang istirahat aja.” Jelasku padanya.
“kamu gak seperti biasanya, kamu selalu cerita hal-hal kehidupan sama
aku. Tapi hari ini kayaknya kamu memendam banyak hal selama bertahun-tahun tapi
gak mau cerita sama siapapun.” Seolah memaksa, April terlalu tau keadaanku saat
ini.
“Mei, aku kenal kamu sejak SMA. Kita emang gak satu kampus. Tapi komunikasi
kita gak pernah putus. Kamu kenapa?” tanyanya kembali mencoba membujukku agar
aku bercerita.
“Aku sebelumnya tidak pernah menginginkan cerita ini kembali dibuka. Kamu
juga sebenernya pasti udah tau. Ini Cuma cerita lama yang aku bongkar lagi, aku
telisik dan aku kumpulkan puzzle-puzzle yang sebenarnya aku sudah buang. Aku sudah
selesai dengan bagian puzzle bagian ini di hidupku, tapi hari ini semua memang
menjadi jelas dan terang benerang. Aku ternyata tidak bertepuk sebelah tangan
saat itu.” Senyumku dengan air mata yang pelupuknya sebenarnya nyaris isinya
akan tumpah.
“Kamu cerita bagian mana, kayaknya beberapa cerita kamu memang belum
selesai.” April berkomentar.
“Iya, kamu benar. Semua cerita yang aku tulis selalu belum tuntas.” Senyumku
memperjelas.
“Benar, karena cerita itu selalu belum selesai. Makanya, kamu belum juga
menulis dan mewujudkan impian kamu jadi penulis.” April menyadarkan banyak hal
bahwa tulisanku banyak yang berakhir tanpa makna yang utuh, bahkan hanya tersimpan
dalam catatan-catatan kecil di buku, dan hanya beberapa orang terdekat yang
selalu baca keresahan-keresahanku.
“Jadi, mau cerita atau engga?” tanyanya kembali.
“Kamu gak bosen, aku selalu cerita beda tema dan tokoh berbeda?”
“Cerita kamu selalu menarik karena banyak yang penuh teka-teki.” Mukanya
berwajah menyebalkan seolah mengejekku.
*bersambung
Komentar
Posting Komentar