Cerpen
Pengkhianatan
Menunggu
Karya: Rifa Nurafia
Detik
itu aku melihat wajah penyesalan. Sayup-sayup
heningnya keramaian toga dan duri buket bunga sepertinya menyakitakan. Sore itu
bersama langit yang berwarna biru dan cerah ada kekesalan dalam balutan yang
berjanji berusaha saling memantaskan, mungkin jika bisa berteriak dan berkata
kecewa itu akan terlontar dari mulutnya. Tapi kenyataanya,tetap bersikap tegar
seperti karang yang sebenarnya jika terkikis air lautpun akan rapuh.
****************************
Di
sebuah dusun, di pedesaan Yogyakarta. Aku, Gus, dan Ratna bersahabat sejak dari
kecil. Posisi kekerabatan aku dan Gus memang menjadi kedekatan tersendiri. Aku
memanggil Gus dengan Mas dan Gus memanggilku dengan Lee. Aku dan Gus sepupuan
dari pihak ayah, tapi aku dan Ratna pun masih ada kerabat meski sangat jauh.
Ratna cucu dari adiknya nenek pihak ibu. Semenjak dari SD sampai SMP aku dan
Gus selalu satu sekolah, Hanya Ratna diantara kami berdua yang tidak pernah
satu sekolah. Beranjak sekolah menengah aku mulai mengambil jalur kejuruan, dan
Gus tetap pada sekolah menengah atas. Ratna memang secara ekonomi berbeda
derajat dengan kami berdua. Dia yang terlahir dari keluarga kaya raya dengan
mudah masuk jenjang pendidikan di kota. Semenjak SMP, Ratna mulai sekolah di
kota. Meskipun kami berbeda sekolah sejak SD tapi kami bertiga selalu
menyempatkan berkumpul setiap hari minggu, hal itu menjadikan persahabatan kami bertahan. Tidak terasa kami bertiga
sekarang sudah sama-sama lulus jenjang sekolah menengah. Aku yang mengambil
jurusan teknik listrik lulus dan sekarang mulai mencari pekerjaan dibidang
kelistrikan. Gus yang lulus dari sekolah menengah atas akan melanjutkan
pendidikan kedokteran, dan Ratna siap melanjutkan pendidikannya dengan
mengambil akademi kebidanan. Entahlah
aku hanya heran pada Gus, tak pernah terpikir dalam lintasku dia kan mengambil
jurusan kedokteran. Padahal,keadaan keluarganya saat ini sedang kalang kabut
karena kebangkrutan usaha.
“
Mas Gus, kau yakin mau ambil jurusan kedokteran ?” tanyaku
“iya,
aku yakin Lee”. Tegasnya
“
Meskipun keluargaku sedang bangkrut, tapi ini kan sudah sejak lama aku
persiapkan, sejak aku SMP semua anganku soal jas putih, tetoskop, dan tentang
menolong orang sakit sudah aku impikan” tambahnya dengan nada parau.
“Iya
aku faham, tapi kemarin kamu sudah merelakan cita-cita itu terlepas Mas, kau
bilang padaku. Saat kita bercerita soal aku yang akan bekerja dulu lantas
kuliah. Katanya Mas akan kerja dulu bantu Pakde. Mengapa sekarang tiba-tiba
begitu keras ingin tetap mendaftar dan ikut seleksi ?” aku kembali bertanya.
“
Kamu gak akan mengerti Lee, opo sih
kamu itu, ini kan masa depan ku.” Dengan nada sinis Gus berlalu pergi.
Aku
yang duduk di teras depan rumah membiarkan Gus berlalu saja, entahlah aku heran
padanya, cepat sekali keputusan itu berubah. Padahal baru dua minggu yang lalu
semenjak surat kelulusan tamat sekolah menengah masing-masing kami berdua
terima kami memutuskan untuk mencari kerja bersama. Tapi sekarang Gus mendadak
memintaku mengantarnya ikut seleksi kuliah.
“
Ah, ada yang aneh dengan si Mas itu, ndak sepertinya dia menyembunyikan
sesuatu. Apalagi soal masa depan. Dia
ndak mungkin salah mengambil langkah” gumamku dalam hati.
Haripun
berganti dengan cepat. Hari ini hari Senin. Aku sudah punya janji dengan Mas
Gus untuk mengantarnya ke salah satu Universitas. Kami tidak sengaja bertemu
dengan Ratna. Semenjak kelulusan kami bertiga memang belum berkumpul kembali.
Maklum saja Ratna mulai ikut seleksi masuk akademi kebidanan dan kami berduapun
tidak mungkin mengajaknya untuk bermain bersama.
“
hey Lee, Mas. Mau kemana ?” Ratna dari kaca mobilnya berteriak padaku dan mas
Gus.
Dengan
cepat mas Gus menjawab, padahal mulutku baru saja akan berucap.
“
Kami mau cari kerja Rat”
Pikirku
mengapa mas Gus berbohong. Semakin penasaran saja aku dengan tingkah laku Mas
yang aneh dan tidak wajar. Dalam perjalanan dengan motor bututku, aku hanya
ingin segera selesai mengantarkan tes seleksi Mas, dan segera mengintrogasinya
selepas selesai. Aku urungkan niatku meminta penjelasaanya dalam perjalanan
sebab aku mengerti dia sedang mempersiapkan ujian tesnya.
Sorepun
datang, dengan mega-mega merah
kekuning-kuningan di atas langit biru. Dalam perjalanan pulang, sudah tidak
tahan rasanya ingin aku terbang dan meminta penjelasan kelakuan si Mas yang
aneh semenjak hari keputusan dia untuk kuliah. Kamipun sampai di pendopo
rumahku. Karena hari sudah magrib, lekaslah aku masuk rumah dan tidak lupa aku
mengajak mas untuk mengobrol selepas isya nanti.
“Mas,
aku ingin diskusi sesuatu. Nanti selepas
isya akan ku ceritakan” Pancingku.
“nje, siap pokoke”. Jawab mas.
Malam
ini selepas shalat di masjid. Aku bagai pak polisi yang sudah siap mengicar
target penangkapan sudah bergegas dengan cepat dan siap mengintrogasi. Aku
sudah kumpulkan beberapa kejanggalanku dan ingin segera aku luapkan mercon
keherananku pada tingkah laku masku. Akhirnya malam ini semua terungkap. Semua
hal yang tak pernah aku tahu soal Mas.
Aku
baru mengerti dan sangat kaget. Ternyata Masku mempunyai perasaan pada Ratna
sampai memutuskan untuk mengambil jurusan kedokteran demi masa depan untuk
Ratna, memantaskan diri dengan derajat Ratna yang kelas menengah atas itu. Tapi
bagiku itu terlalu berlebihan, dalam keadaan yang serba kekurangan dan posisi
sedang terjatuh perekonomian, bagaimana Mas bisa bertahan menahan mahalnya
biaya kuliah. Aku yang kemudian berdebat dan mengeluarkan pendapat soal itu
terus menyangkal argument-argumen Mas soal masa depan dan perjuangan cinta.
“
Mas, apa emang harus kamu tuh jadi dokter biar nikah sama Ratna? Yaa nda begitu mas!, memang Ratna sudah tau
perasaan Mas ? memang Ratna meminta syarat agar kau jadi dokter biar jadi
suaminya?, bukan aku ndak mau
mendukung mas soal masa depan dan cita-cita, ya tapi lihat keadaan juga,
rasionalah sedikit memang ukuran profesi jadi standar kau harus meminang Ratna.
Masih jauh mas kau jangan terlalu ambisius seperti itu harus jadi dokter. Aku ndak suka Mas tiba-tiba mengambil
keputusan sepihak harus kuliah kedokteran tahun ini, kan bisa tahun depan
menunggu pakde usahanya bangkit lagi.” aku melontarkan kritikan pertanyaan
dengan kesal pada mas Gus.
Belum
sempat mas menceritakan keseluruhan isi perasaannya, aku sudah menyelang terus
dengan pertanyaan-pertanyaan mendesak seperti itu. Malam ini aku mengerti soal
perasaan cinta. Persoalan dua hati yang
mulai saling berkomitmen lantas memantaskan diri masing-masing mengejar masa
depan. Tapi bagiku Ratna terlalu jauh untuk Mas, bagai mawar indah yang di keliling duri yang siap
menusuk siapapun jika tidak hati-hati memetiknya. Mas menceritakan padaku
pertemuan khusus dengan Ratna ketika berada di alun-alun kota Yogyakarta.
Akupun tidak mengetahui pertemuan itu sepertinya liburan semester lalu sebelum
ujian Nasional. Pada saat pertemuan itu Ratna memang menaruh juga perasaan pada
Mas tapi Ratna menjelaskan bahwa mereka masih remaja dan hanya perlu
memperbaiki diri dan memantaskan diri. Mas ternyata mempunyai komitmen dengan
Ratna untuk sama-sama mengejar cita-cita. Perasaan mereka masing-masing tetap
pada koridor pertemanan hanya untuk ke arah serius masa depan sama-sama saling
menyemangati.
Bagiku
itu hal wajar untuk persolan persahabatan, kita sama-sama saling mendukung dan
memberi semangat. Tapi jika sudah kedalam ranah ingin memiliki dan soal cinta
perlu diwaspadai. Sekarang selepas semua cerita itu, aku sendiri menyimpulkan
bahwa mas berusaha mendapatkan Ratna untuk kelak ia cintai, makanya dia
tiba-tiba perubah pikiran dan tetap tekad untuk kuliah kedokteran. Mas Gus
mulai mengenal cinta. Aku tidak melarang soal percintaan, setiap manusia memang
pasti punya cinta dan kasih sayang, tinggal bagaimana mengartikan makna dari
itu bukan tentang soal sesame lawan jenis melainkan cinta dan kasih sayang
untuk keluarga lebih penting untuk saat ini. Itu aku kemukakan pada masku.
Malam
ini seusai suasana curhat tentang perasaan Mas. Kami berdua melepas penat
dengan berbaring menatap langit. Bukan tatapan kosong melainkan tatapan
merangkai langkah dan masa depan untuk diraih.
********************
Kota
Yogyakarta semakin hari, bulan, tahun semakin maju, lebih banyak pedagang,
angkringan di setiap sudut jalan. Tidak terasa aku sudah 3 tahun tak
bercengkrama dengan kota ini. Malam ini aku akan bertemu dengan Mas, entahlah
semenjak aku yang bekerja ke luar pulau Jawa sebagai pegawai PLN dan mengikuti
beberapa diklat aku sudah tidak pernah pulang ke Yogyakarta lagi, mungkin hanya
pada hari-hari besar seperti Idul Fitri aku pulang ke Yogyakarta. Aku bekerja
di daerah Sumatera. Dalam hitamnya langit malam dan sinar bulan purnama, aku
akan bertemu dengan Mas dan Ratna. Kawan kecilku yang selalu aku rindukan
kehadiran mereka.
Seperti
waktu yang selalu berjalan dan tak pernah berhenti. Mungkin setiap orang siapun
dan kapanpun memang pasti akan berubah. Kami bertiga bertemu dalam suasana dan
keadaan yang sudah sangat berbeda. Mas Gusku yang ternyata sudah menunggu lebih
dulu di depan alun-alun, sudah dengan badan yang semakin tinggi, wajahnya
semakin terurus, pakaiannya sudah semakin modern tidak sesederhana dulu ketika
masih di desa, bahkan aku melihat sisi berbeda dari masku, semakin terlihat
wibawa calon dokternya. Memang kehidupan Masku semakin berubah semenjak dua
tahun lalu pakde mendapat warisan dan mulai bangkit membangun usaha sayur-mayur
serta beberapa peternakan di beberapa daerah luar Yogyakarta. Masku semakin
tidak putus asa dengan harapan dan cita-citanya menjadi dokter karena secara
keuangan sudah tidak kesusahan. Aku datang dengan berpakaian sederhana, maklum
masih pegawai biasa dan gajihkupun belum seberapa. Hanya saja aku sudah sedikit
lebih berisi dan tidak kurus seperti dulu. Tapi, memang kehidupan selalu
berubah dan tidak sama lagi. Ratna yang semenjak di desa jadi gadis anggun
dengan rambut ikal dan badan yang mungil kini berubah jauh sekali, tak terlihat
sedikitpun rambut ikal itu sekarang, sudah tidak ada pita merah jambu yang
selalu ia pakai untuk mengikat rambut. Ratna begitu tertutup, nyaris hanya
terlihat tangan dan mukanya saja. Subhanallah Ratna begitu cepat berhijrah
menjadi muslimah dengan menutup aurat. Aku sampai terkagum dan tak menyangka.
“deuh,
bu bidan sudah berhijab ya sekarang, ga pake ngiket rambut lagi.” Ledekku
padanya.
“hehe
iya.” Sautnya
Malam
itu hampir 3 jam kami lepaskan rindu. Melepaskan segala kebimbangan dalam
mencairnya suasana keakraban dan percakapan. Saling bertanya dan menanggapi segala keluh
kesah menahan rindu sampai pada titik pertanyaan tentang siapa teman hidup
sesungguhnya atau sosok jodoh.
Bagaimanapun persoalan cinta dan kasih sayang antar lawan jenis
sesungguhnya tidak akan terlupakan untuk dibahas. Aku sempat ingat dengan
cerita ketika aku lulus dari sekolah menengah beberapa tahun lalu, tentang Mas
yang menyukai Ratna. Tapi aku tahan untuk tidak membahasnya sekarang. Dua minggu lagi Ratna akan wisuda dan resmi
jadi bidan. Secara khusus aku dan mas diundang untuk datang. Aku belum
menyanggupi iya atau tidak akan datang karena jadwal kerjaku sekarang sedikit
kacau. Tapi Mas Gus tanpa piker panjang menyatakan ia akan datang. Aku piker
memang seharusnya Mas kan menyukai Ratna masa ndak datang pas wisuda.
Malam
semakin larut kami bertiga pulang. Aku dan Mas bergegas ke kosan Mas, besok
sore aku sudah harus pergi ke luar kota kembali, tapi kami berdua terlebih
dahulu mengantarkan Ratna pulang. Memang selain di desa sebenarnya sekarang
Ratna sudah pindah rumah dan menetap di kota Yogyakarta. Rumah di desa didiami
oleh nenek dan pamannya.
Aku
melihat sosok Ratna yang jauh berbeda, bicaranya lebih lembut. Parasnya begitu
anggun dibalut hijab. Pikirku sampai lupa bahwa sebenarnya aku nyaris terpesona
pada Ratna. Tapi aku ingat soal perasaan dan cinta sekarang bukan prioritasku,
dan Ratna itu hanya sekedar sahabat kecilku.
****************
Tak
terasa dengan berbagai kesibukan, aku dengan penuh senyum dengan siap datang
pada acara wisuda sahabat kecilku, dalam balutan buket mawar dan coklat
kecil-kecil tertulis nama Ratna Ayuning
Tias, Amd. Keb. Aku sangat bahagia melihat kesuksesan sahabat kecilku meraih
mimpinya. Pagi menjelang siang aku bergegas menuju gedung wisuda, menunggu
Ratna keluar gedung. Aku sampai melupakan Mas Gus, entahlah mas sudah datang
apa belum aku tidak tahu. Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit, akhirnya
prosesi wisuda selesai. Ratna dan para wisudawan lain keluar gedung. Kebetulan
aku dan mas Gus memang tidak bisa masuk ke dalam gedung karena prosesi itu
terbatas hanya untuk keluarga. Aku ucapkan selamat pada sahabat kecilku atas
prestasi pendidikannya. Mas Gus memang sepertinya datang terlambat, aku dan
Ratna menunggu cukup lama sambil berfoto ria mengabadikan dengan kamera handphone.
Akhirnya
mas Gus datang. Mas Gusku begitu tampan dan memang itu tak terpungkiri oleh
siapapun. Seperti petir di siang bolong nafasku menghela panjang sambil menatap
mas dari kejauhan, dalam keramaian dan dalam balutan pakaian yang senada Mas
Gus bersama perempuan beriringan berjalan ke arahku dan Ratna. Tak terbayang
perasaan Ratna sebenarnya dia menaruh perasaan cinta pada Mas mungkin perasaan
itu seperti belati yang menusuk dirinya dengan cepat, atau mungkin seperti tusukan jarum yang perlahan menjait
luka-luka. Perih, perih dan perih.
Aku
menyaksikan sendiri, ada mendung di langit Yogyakarta. Saat semua wanita
berbahagia atas gelar akademiknya, di sampingku ada hujan yang tak akan
berhenti menangisnya. Dalam balutan ketegaran perempuan hijab aku dengar ucapan
“astagfirullah haladzim” sebagai
tanda memohon ampun sebab ternyata cinta pada pengharapan yang salah menyakiti
diri sendiri, sebab pada dasarnya cinta pada Tuhan pada hambanya tak akan
pernah berubah tidak seperti cinta antar sesama manusia yang kapanpun siap
berubah menjadi sebuah pengkhianatan.
Komentar
Posting Komentar